Sudah dua tahun begelut di media
massa, aku merasa tidak kian cerdas dalam menulis. Produktivitas berkarya pun
turun drastis. Selama dua tahun bergulir, berita-berita yang kutulis dan
diterbitkan, rata-rata berbau kapitalis.
Dikatakan berita berita berbau
kapitalis, karena tujuan utamanya ialah uang. Kongkretnya, setiap menulis kasus
dan memblejeti kebobrokan kinerja pejabat di instansi tertentu, dimaksudkan
untuk mendapatkan iklan.
Akibat dari itu, berita kemudian tak
ubahnya amunisi untuk meraup banyak iklan. Spirit mengontrol kebijakan yang
timpang dan tidak begitu memihak rakyat, tak jarang menguap tatkala media
tempat aku bekerja ‘disuapi’ dengan uang.
Kondisi tersebut, tidak dapat
dilepaskan dari umur dan misi-visi didirikannya koran tempat aku kerja. Yaitu,
dikemas dalam wujud murni bisnis. Sehingga, setiap kali rapat akbar, yang
menjadi perbincangan utama ialah profit; seberapa banyak uang yang diperoleh
dari pendapatan iklan.
Mulanya, aku bekerja dengan fokus
tinggi sebagai jurnalis. Setengah tahun dari awal kerja, aku menikmati betul
dalam menulis. Saya bebas! Saya dengan leluasa menghadirkan berita yang asyik
dibaca. Dan dorongan dari manajemen, juga positif untuk tataran pemberitaan.
Sewaktu dipimpin oleh Taufiq Risqon
dan disonding oleh Edi Kurniadi, iklan tidak ditempatkan di atas segalanya.
Memosisikan berita bagus sebagai tujuan utama wartawan, menjadi spirit utama.
Akibatnya, ketika koran lain menghadirkan berita yang bagus, koran tempatku
bekerja bakal memacu wartawan agar memperoleh berita yang sama dengan angle
beda nan menarik disertai penggalian berita yang mendalam.
Di awal-awal terbit, koranku dikenal
sebagai media bacaan alternatif. Sementara koran lainnya yang sudah belasan
tahun mengakar kuat di Madura, menjadi keteteran. Saat itu, kompetisi positif
betul-betul tercipta semangat yang menggebu.
Sejauh itu, aku dibimbing langsung
oleh Edi Kurniadi. Kala itu, Edi Kurniadi menjabat sebagai General Manager.
Dari semua pimpinan yang ada, beliau lah yang paling berjasa dalam karir
jurnalistikku. Setelah Taufiq Risqon mundur dari koranku karena bersitegang
dengan direktur utama Cholili Ilyas, jabatan pemimpin redaksi berada di pundak
Edi Kurniadi.
Kemurnian menjadi wartawan, sekali
lagi, hanya kurasakan kurang lebih setengah tahun. Setelah itu, saya diamanahi
sebagai Kepala Biro Pamekasan. Posisi ini, kala itu, cukup menguras energiku.
Jabatan sebagai kepala biro,
ternyata tidak nyaman. Sebab, saya tidak bisa fokus menghadirkan berita-berita
berkualitas. Di samping menggali berita, saya masih harus mengorganisasi para
wartawan yang menjadi bawahannya. Parahnya, saya masih dibebani untuk mencari
dan mendapatkan iklan.
Praktis, semenjak menjabat kepala
biro, konsentasiku sangat terpecah. Berita-berita yang aku tulis selanjutnya
asal jadi dan terpenting memenuhi target 4 berita tiap hari. Betapa tidak,
lahan untuk dapat berita bagus, diliput oleh bawahannya. Sementara diriku harus
mengalah. Sehingga, aku harus mengais sisa-sisa bahan berita.
Mengais sisa bahan berita, sangat
menyita waktu dan energi. Terutama berita-berita yang berbalutkan peristiwa.
Semuanya yang meliput ialah bawahanku.
Suatu waktu, aku sudah mengutarakan
ingin berhenti kepada Edi Kurniadi. Beban berita dan mencari iklan, ditambah
mengurus distribusi koran, sangat mengganggu kenormalan hidupku. Kerja full
sehari dan istirahat seadanya, membuatku nyaris frustasi. Namun, Edi Kurniadi
menegaskan, semuanya itu dibebankan karena diriku dipersiapkan atau dikader
untuk menjadi karyawan multifungsi.
Dengan sisa semangat yang ada, aku
bertahan di Kabar Madura. Hingga ujungnya, pada Desember 2013, aku tidak lagi
berkewajiban menulis berita. Oya, ada yang lupa, yang paling menyita waktuku
ialah ketika menagih iklan. Akibatnya, waktu untuk mencari berita sangat tersita.
Sudah lebih setengah tahun aku murni
menjabat sebagai kepala biro. Dan mulai Maret 2014, aku diberi amanah tambahan
sebagai redaktur. Sehingga, tugasku kian bertambah: mencari iklan, menagih
iklan, mengorganisasi wartawan, mengurus distribusi koran, dan mengedit berita.
Atas kenyataan tersebut, secara
otomatis kerjaku sehari-semalam. Sementara gajiku hanya bertambah Rp 250.000.
Total gajiku kini Rp 1.750.000.
Saat ini, aku sudah memiliki admin
atau bagian periklanan serta penagihan. Feri Anggriawan, namanya. Dia sangat
besar perannya. Dia digaji olehku Rp 750.000. Feri ini pekerja aktif.
Sayangnya, dia sama sekali belum pengalaman di bidang periklanan. Sehingga, dia
baru bergerak menyebar surat penawaran iklan ketika ada ide atau instruksi
dariku.
Idealnya, yang mengusahakan
periklanan sepenuhnya adalah tugas Feri. Hanya saja, dia kurang memiliki power
di Pamekasan. Karenanya, masih aku yang harus sering turun tangan sendiri. Yang
melobi iklan, masih sering diriku sendiri.
Feri sudah bekerja sekitar dua
bulan. Dengan perannya, saya sudah sering tidak ke kota. Saya sering
memanfaatkan waktu luang di rumah. Dan ketika ada peluang iklan, saya
menawarnya via bbm atau telpon untuk kemudian ditindaklanjuti oleh Feri. Yang
nagih pun, juga dilakukan oleh Feri.
Selama puasa Ramadan yang sekarang
hari kesepuluh, aku baru masuk kantor sekali. Itu pun pulang Zuhur. Selebihnya,
aku lebih banyak nyantai di rumah. Usai Magrib, saya mengedit berita di
musalla.
Aku akui, penjabaran di atas belum
mengena pada judul. Baik lah, biar tidak terlalu melebar, saya akan fokuskan
cerita yang mengacu pada judul tulisan ini.
Jurnalis belum penulis, tentu benar
adanya. Aku tak lagi seproduktif seperti di pesantren dulu. Jika di pesantren,
aku menghasilkan karya berupa opini minimal 5 dalam seminggu. Dan karya-karyaku
tersebut, minimal 3 kali dalam seminggu dimuat di media cetak yang ruang
lingkupnya di Madura.
Keinginan untuk kembali penjadi
penulis yang serius, sekarang membuncah dalam diriku. Apalagi, fasilitas dan
peluangnya semakin banyak. Aku kini betul-betul enjoy dalam bekerja. Tenagaku
tidak begitu terporsir sebagaimana mula jadi wartawan.
Hanya saja, kenyamanan tersebut
memunculkan masalah baru; kemalasan. Ya, saya sering bermalas-malasan menikmati
asyiknya dunia bersama istri. Saya jarang masuk kantor, dan sama sekali tidak
melahirkan sejenis artikel yang penting dibaca.
Kendati demikian, saya punya alasan
tersendiri. Saya tidak masuk kantor, dengan pertimbangan realistis. Gajiku yang
jauh di atas UMK, bila masuk kantor, akan terkuras pada biaya bensin. Dengan
tidak masuk kantor tiap hari, dan aktif ketika ada agenda penting menyangkut
periklanan, saya bisa mengerit pengeluaran.
Apalagi, sekalipun tidak masuk
kantor, saya tetap kerja. Saya mengedit berita pada sore atau usai Magrib. Saya
memiliki waktu luang yang sangat banyak saat ini.
Kenikmatan memiliki waktu luang yang
begitu banyak, tentu harus aku manfaatkan sebaik mungkin. Aku harus kembali
menyusun agenda harian. Fokusnya ialah pada belajar dan berkarya.
Sebentar lagi, aku menginjak
semester dua Pascasarjana STAIN Pamekasan. Waktu luangku, bakal kumanfaatkan
dengan belajar sebaik mungkin. Menjadi sarjana terbaik kelak, bukan lah tujuan
utamanya. Minimal, nilai kuliahku nanti tidak terlalu rendah atau memalukan.
Status sebagai mahasiswa
pascasarajana, menuntutku untuk sadar dan mensyukuri nikmat ini. Ini peluang
besar untuk melahirkan karya fantastik. Dengan fasilitas belajar nyaman di
kampus dan rumah, ditambah referensi buku yang banyak, insya Allah aku bisa
menjadi lebih baik.
Sebagai muaranya, menjadi penulis
andal yang pernah aku tunjukkan pada banyak sidang pembaca, bisa kembali
mencuat lagi. Tentu, bobot karya yang harus kulahirkan nanti lebih bagus dan
bermartabat. Sebab, sekali lagi, aku sudah mahasiswa pascasarjana.
Agenda panjangku:
1. Melakukan perencanaan penelitian pustaka à memaksimalkan tugas-tugas makalah kampus.
2. Membaca buku untuk kemudian menulis Artikel/Opini yang
gagasannya berpijak pada buku yang kubaca.
3. Sesekali melakukan liputan yang bersifat human
interest. Misinya ialah mendengungkan suara kaum duafa yang terbenam. Atau,
melahirkan berita kreatif-inovatif yang enak dikonsumsi oleh pembaca. Apalagi,
aku memiliki kamera DLSR yang hasilnya sangat menyenangkan.
4.
Musalla Rumah, Rabu (10/7) 11.00