Rabu, 09 Juli 2014

Jurnalis Belum Jadi Penulis


Sudah dua tahun begelut di media massa, aku merasa tidak kian cerdas dalam menulis. Produktivitas berkarya pun turun drastis. Selama dua tahun bergulir, berita-berita yang kutulis dan diterbitkan, rata-rata berbau kapitalis.
Dikatakan berita berita berbau kapitalis, karena tujuan utamanya ialah uang. Kongkretnya, setiap menulis kasus dan memblejeti kebobrokan kinerja pejabat di instansi tertentu, dimaksudkan untuk mendapatkan iklan.
Akibat dari itu, berita kemudian tak ubahnya amunisi untuk meraup banyak iklan. Spirit mengontrol kebijakan yang timpang dan tidak begitu memihak rakyat, tak jarang menguap tatkala media tempat aku bekerja ‘disuapi’ dengan uang.
Kondisi tersebut, tidak dapat dilepaskan dari umur dan misi-visi didirikannya koran tempat aku kerja. Yaitu, dikemas dalam wujud murni bisnis. Sehingga, setiap kali rapat akbar, yang menjadi perbincangan utama ialah profit; seberapa banyak uang yang diperoleh dari pendapatan iklan.
Mulanya, aku bekerja dengan fokus tinggi sebagai jurnalis. Setengah tahun dari awal kerja, aku menikmati betul dalam menulis. Saya bebas! Saya dengan leluasa menghadirkan berita yang asyik dibaca. Dan dorongan dari manajemen, juga positif untuk tataran pemberitaan.
Sewaktu dipimpin oleh Taufiq Risqon dan disonding oleh Edi Kurniadi, iklan tidak ditempatkan di atas segalanya. Memosisikan berita bagus sebagai tujuan utama wartawan, menjadi spirit utama. Akibatnya, ketika koran lain menghadirkan berita yang bagus, koran tempatku bekerja bakal memacu wartawan agar memperoleh berita yang sama dengan angle beda nan menarik disertai penggalian berita yang mendalam.
Di awal-awal terbit, koranku dikenal sebagai media bacaan alternatif. Sementara koran lainnya yang sudah belasan tahun mengakar kuat di Madura, menjadi keteteran. Saat itu, kompetisi positif betul-betul tercipta semangat yang menggebu.
Sejauh itu, aku dibimbing langsung oleh Edi Kurniadi. Kala itu, Edi Kurniadi menjabat sebagai General Manager. Dari semua pimpinan yang ada, beliau lah yang paling berjasa dalam karir jurnalistikku. Setelah Taufiq Risqon mundur dari koranku karena bersitegang dengan direktur utama Cholili Ilyas, jabatan pemimpin redaksi berada di pundak Edi Kurniadi.
Kemurnian menjadi wartawan, sekali lagi, hanya kurasakan kurang lebih setengah tahun. Setelah itu, saya diamanahi sebagai Kepala Biro Pamekasan. Posisi ini, kala itu, cukup menguras energiku.
Jabatan sebagai kepala biro, ternyata tidak nyaman. Sebab, saya tidak bisa fokus menghadirkan berita-berita berkualitas. Di samping menggali berita, saya masih harus mengorganisasi para wartawan yang menjadi bawahannya. Parahnya, saya masih dibebani untuk mencari dan mendapatkan iklan.
Praktis, semenjak menjabat kepala biro, konsentasiku sangat terpecah. Berita-berita yang aku tulis selanjutnya asal jadi dan terpenting memenuhi target 4 berita tiap hari. Betapa tidak, lahan untuk dapat berita bagus, diliput oleh bawahannya. Sementara diriku harus mengalah. Sehingga, aku harus mengais sisa-sisa bahan berita.
Mengais sisa bahan berita, sangat menyita waktu dan energi. Terutama berita-berita yang berbalutkan peristiwa. Semuanya yang meliput ialah bawahanku.
Suatu waktu, aku sudah mengutarakan ingin berhenti kepada Edi Kurniadi. Beban berita dan mencari iklan, ditambah mengurus distribusi koran, sangat mengganggu kenormalan hidupku. Kerja full sehari dan istirahat seadanya, membuatku nyaris frustasi. Namun, Edi Kurniadi menegaskan, semuanya itu dibebankan karena diriku dipersiapkan atau dikader untuk menjadi karyawan multifungsi.
Dengan sisa semangat yang ada, aku bertahan di Kabar Madura. Hingga ujungnya, pada Desember 2013, aku tidak lagi berkewajiban menulis berita. Oya, ada yang lupa, yang paling menyita waktuku ialah ketika menagih iklan. Akibatnya, waktu untuk mencari berita sangat tersita.
Sudah lebih setengah tahun aku murni menjabat sebagai kepala biro. Dan mulai Maret 2014, aku diberi amanah tambahan sebagai redaktur. Sehingga, tugasku kian bertambah: mencari iklan, menagih iklan, mengorganisasi wartawan, mengurus distribusi koran, dan mengedit berita.
Atas kenyataan tersebut, secara otomatis kerjaku sehari-semalam. Sementara gajiku hanya bertambah Rp 250.000. Total gajiku kini Rp 1.750.000.
Saat ini, aku sudah memiliki admin atau bagian periklanan serta penagihan. Feri Anggriawan, namanya. Dia sangat besar perannya. Dia digaji olehku Rp 750.000. Feri ini pekerja aktif. Sayangnya, dia sama sekali belum pengalaman di bidang periklanan. Sehingga, dia baru bergerak menyebar surat penawaran iklan ketika ada ide atau instruksi dariku.
Idealnya, yang mengusahakan periklanan sepenuhnya adalah tugas Feri. Hanya saja, dia kurang memiliki power di Pamekasan. Karenanya, masih aku yang harus sering turun tangan sendiri. Yang melobi iklan, masih sering diriku sendiri.
Feri sudah bekerja sekitar dua bulan. Dengan perannya, saya sudah sering tidak ke kota. Saya sering memanfaatkan waktu luang di rumah. Dan ketika ada peluang iklan, saya menawarnya via bbm atau telpon untuk kemudian ditindaklanjuti oleh Feri. Yang nagih pun, juga dilakukan oleh Feri.
Selama puasa Ramadan yang sekarang hari kesepuluh, aku baru masuk kantor sekali. Itu pun pulang Zuhur. Selebihnya, aku lebih banyak nyantai di rumah. Usai Magrib, saya mengedit berita di musalla.
Aku akui, penjabaran di atas belum mengena pada judul. Baik lah, biar tidak terlalu melebar, saya akan fokuskan cerita yang mengacu pada judul tulisan ini.
Jurnalis belum penulis, tentu benar adanya. Aku tak lagi seproduktif seperti di pesantren dulu. Jika di pesantren, aku menghasilkan karya berupa opini minimal 5 dalam seminggu. Dan karya-karyaku tersebut, minimal 3 kali dalam seminggu dimuat di media cetak yang ruang lingkupnya di Madura.
Keinginan untuk kembali penjadi penulis yang serius, sekarang membuncah dalam diriku. Apalagi, fasilitas dan peluangnya semakin banyak. Aku kini betul-betul enjoy dalam bekerja. Tenagaku tidak begitu terporsir sebagaimana mula jadi wartawan.
Hanya saja, kenyamanan tersebut memunculkan masalah baru; kemalasan. Ya, saya sering bermalas-malasan menikmati asyiknya dunia bersama istri. Saya jarang masuk kantor, dan sama sekali tidak melahirkan sejenis artikel yang penting dibaca.
Kendati demikian, saya punya alasan tersendiri. Saya tidak masuk kantor, dengan pertimbangan realistis. Gajiku yang jauh di atas UMK, bila masuk kantor, akan terkuras pada biaya bensin. Dengan tidak masuk kantor tiap hari, dan aktif ketika ada agenda penting menyangkut periklanan, saya bisa mengerit pengeluaran.
Apalagi, sekalipun tidak masuk kantor, saya tetap kerja. Saya mengedit berita pada sore atau usai Magrib. Saya memiliki waktu luang yang sangat banyak saat ini.
Kenikmatan memiliki waktu luang yang begitu banyak, tentu harus aku manfaatkan sebaik mungkin. Aku harus kembali menyusun agenda harian. Fokusnya ialah pada belajar dan berkarya.
Sebentar lagi, aku menginjak semester dua Pascasarjana STAIN Pamekasan. Waktu luangku, bakal kumanfaatkan dengan belajar sebaik mungkin. Menjadi sarjana terbaik kelak, bukan lah tujuan utamanya. Minimal, nilai kuliahku nanti tidak terlalu rendah atau memalukan.
Status sebagai mahasiswa pascasarajana, menuntutku untuk sadar dan mensyukuri nikmat ini. Ini peluang besar untuk melahirkan karya fantastik. Dengan fasilitas belajar nyaman di kampus dan rumah, ditambah referensi buku yang banyak, insya Allah aku bisa menjadi lebih baik.
Sebagai muaranya, menjadi penulis andal yang pernah aku tunjukkan pada banyak sidang pembaca, bisa kembali mencuat lagi. Tentu, bobot karya yang harus kulahirkan nanti lebih bagus dan bermartabat. Sebab, sekali lagi, aku sudah mahasiswa pascasarjana.
Agenda panjangku:
1.      Melakukan perencanaan penelitian pustaka à memaksimalkan tugas-tugas makalah kampus.
2.      Membaca buku untuk kemudian menulis Artikel/Opini yang gagasannya berpijak pada buku yang kubaca.
3.      Sesekali melakukan liputan yang bersifat human interest. Misinya ialah mendengungkan suara kaum duafa yang terbenam. Atau, melahirkan berita kreatif-inovatif yang enak dikonsumsi oleh pembaca. Apalagi, aku memiliki kamera DLSR yang hasilnya sangat menyenangkan.
4.       
Musalla Rumah, Rabu (10/7) 11.00